Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Tuesday, April 20, 2010

Kartini Sang Pembebas

oleh: Prof. Dr. Hj. Redatin Parwadi, MA.
Setiap tahun pada tanggal 21 April, perhatian kita tertuju pada sosok perempuan yang cantik, ayu, cerdas dan mempunyai nilai juang yang sangat tinggi. Perempuan tersebut pembawa perubahan bukan saja bagi perempuan, tetapi bagi bangsa Indonesia pada umumnya. Bagaimana tidak, pada saat Nusantara dibelenggu penjajah, muncul perempuan pahlawan terkenal yang memperjuangkan kesetaraan dan kebebasan. Sosok perempuan pejuang yang dengan daya fikir luas dan kemampuan korespondensi tinggi, berontak terhadap belenggu adat istiadat, tradisi, budaya yang merendahkan martabat perempuan Indonesia. Perempuan ini telah menjadi inspirator bagi setiap perempuan dalam membantu kaum perempuan lainnya, untuk maju sejajar dengan kaum laki-laki. Menjadi motivator bagi setiap perempuan, untuk meningkatkan harkat dan martabatnya. Sosok perempuan tersebut adalah Kartini atau nama lengkapnya Raden Adjeng Kartini (Raden Ajoe Kartini) yang lahir di Jepara, pada 21 April 1879, anak seorang bupati Jepara R.M. Sosroningngrat, bersuami Raden Adipati Joyodininrat, bupati Rembang (Jawa Tengah), meninggal 17 September 1904.
Kartini adalah sosok otodidak (belajar mandiri). Dengan kegemarannya membaca dan ditunjang kemampuan berbahasa Belanda, walaupun hanya berpendidikan sekolah dasar, Kartini mampu menulis (berkorenpondensi) dengan kawan-kawannya. Surat-surat Kartini jumlahnya ratusan, namun yang dihimpun oleh Armin Pane berjumlah 87 surat dan yang dihimpun oleh Ny.RM. Abendanon dalam Door Duisternis tot Licht berjumlah 108 surat. Surat-surat Kartini, pada umumnya mengungkapkan perjuangan melawan adat istiadat, tradisi dan budaya, yang tidak memungkinkan kemajuan bagi kaum perempuan khususnya. Berkat perjuangannya, saat ini telah lahir kartini-kartini yang mampu duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan kaum laki-laki. Meskipun telah lahir kartini-kartini baru yang berhasil, dan mampu menjadi penggerak bagi kaum perempuan lainnya, namun perjuangan kartini kartini sekarang, belum selesai. Masih memerlukan waktu panjang dan mungkin tanpa akhir. Hal ini karena, masih banyak kaum perempuan yang masih tertinggal dan terbelenggu baik oleh budaya dan perempuan itu sendiri, juga oleh tekanan lelaki. Belenggu laki-laki terhadap perempuan masih terasa, hanya bentuknya berbeda dikala Kartini berada, dengan sekarang di era modern. Belenggu ini akan terus berlangsung manakala di masyarakat masih terkontruksi (pemikiran), tentang keberadaan dan peran perempuan yang masih dianggap rendah, sebagai warga kelas dua. Kondisi demikian memperkuat terjadinya ketimpangan gende dan ketidak adilan gender. Dibidang politik, telah terjadi ketimpangan yang menyolok. Beberapa pemilu legislatif, peran dan kedudukan perempuan dalam legislatif sangat rendah. Bahkan wacana memperjuangkan keterwakilan perempuan 30% di legislatif belum pernah terwujud. Prosentase keterwakilan perempuan tidak lebih 11% (DPR pusat), adapun untuk provinsi, kabupaten kota tidak lebih 7%. Angka ini dibawah rata-rata Asia Tenggara 12,7%. Sekedar perbandingan, pemilu di Pakistan mencadangkan keterwakilan perempuan 17% dari 342 kursi parlemen, di Perancis mensyaratkan setiap parpol menyertakan 50% caleg perempuan. Perjuangan menegakkan emansipasi terus berlanjut, dan akan terus menyuarakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Namun sampai kapanpun, perbedaan hakiki kedudukan dan peran antara laki-laki dan perempuan tidak mungkin berakhir. Tidak dapat disangkal bahwa peran biologis perempuan seperti melahirkan dan menyusui, tidak dapat digantikan oleh laki-laki. Perbedaan sunatulloh ini akan berlangsung terus dan akan berpengaruh terhadap peran perempuan. Banyak perempuan yang telah menjadi pemimpin pemerintahan, politikus yang mewakili rakyat, menjadi pelopor/agen pembangunan, aktivis lembaga masyarakat dan lain-lain, tokh peran biologis perempuan yang kadang-kadang membatasi aktivitasnya tetap saja ada dari jaman Kartini sampai sekarang. Jika Raden Ayu Kartini masih hidup, tentu sangat bangga melihat kaumnya dapat berperan dalam menentukan nasib bangsa. Tetapi sebaliknya jika Kartini melihat bagaimana perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, tidak sekolah karena ketiadaan biaya, buta aksara, banting tulang mencari nafkah, pernikahan di bawah umur, pelecehan seksual, meninggal saat melahirkan dan lain-lain penderitaan, tentu Kartini menangis sangat sedih, menyesalkan perjuangannya belum membuahkan hasil optimal. Memang, Kartini hidup dalam jaman yang berbeda dengan kita yang ada sekarang.Tentu kita yang hidup sekarang, tidak perlu larut dalam kesedihan Kartini dimasa lalu. Kartini diperisteri dengan seorang yang pernah mempunyai tiga isteri, merasakan pingitan hanya untuk menunggu pinangan dan kemudian kawin, pupus sudah harapan untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Walaupun Kartini anak bupati, namun Kartini hanya menamatkan sekolah tingkat dasar (Europese Legere School). Kartini hidup di jaman penjajahan yang serba terkekang baik oleh lingkungan keluarga maupun pemerintahan kolonial. Tentangan kaum pribumi yang hebat, memaksa penjajah melakukan politik etis dengan berpura-pura manis terhadap pribumi dengan tujuan mengurangi tensi perlawanan pribumi. Kesempatan Kartini dan saudaranya untuk sekolah guru di Batavia (walau batal), lebih karena prioritas keduanya sebagai anak pejabat. .Melihat kondisi tanah air yang demikian, membuat Kartini secara psikologis dan sosiologis berontak untuk merubah keadaan menjadi lebih baik. Pantas kiranya atas perjuangannya, Presiden Soekarno (atas nama pemeritah) dengan Keputusan Presiden No.108 Tanggal 2 Mei 1964, menganugerahi Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Memang Kartini berjuang tidak secara fisik mengangkat senjata, tetapi pengorbanan dirinya dan perjuangan pemikirannya terhadap bangsa ini, khususnya kaum perempuan menjadi sesuatu yang luar biasa. Tentu kita berfikir, begitu tekanan penjajah yang demikian kasar tidak memberikan kesempatan kepada pribumi, muncul sosok Kartini yang berfikir memajukan bangsa melalui pendidikan. Di era tahun lima puluhan sampai enam puluhan hampir disetiap kota, lahir Sekolah Kartini, yang merupakan monumen sejarah perjuangan Kartini. Setelah lebih 100 tahun dari kehidupan era Kartini dan Indonesia merdeka 65 tahun, timbul pertanyaan, masih relevankah membicarakan perjuangan Kartini?. Ada dua jawaban. Pertama, jika tidak tahu sejarah dan masa bodoh terhadap hari depan bangsa, kemungkinan menyatakan tidak relevan. Tetapi, yang paham sejarah bagaimana pengorbanan Kartini untuk memajukan bangsanya, dengan tegas menyatakan sangat relevan. Dalam kondisi multi krisis yang dialami bangsa Indonesia, terpinggirkannya ideologi dan falsafah hidup bangsa, semakin memudarnya jati diri bangsa, tentunya semangat Kartini harus terus menerus dikobarkan. Tidak masuk akal, Indonesia yang kaya akan sumber daya (alam dan manusia) tergolong bangsa miskin didunia, bahkan dilingkungan Asia dan Asean sekalipun. Negara serumpun yang pada tahun enan-tujuh puluhan belajar sama kita, sekarang keadaanya terbalik, kitalah yang belajar dari mereka dalam beberapa hal. Lalu apa yang salah di negeri ini? Kita lupa sebagai bangsa besar, tetapi merasa kecil karena sederet predikat yang menyakitkan. Sebutan negara paling korup, negara penuh markus, tidak bangga dan kurang hormat atas bangsa sendiri, royal dan konsumeristik, tidak produktif, suka berkelai antar sesama, tidak taat hukum, kualitas penduduk rendah, kejam dan sebutan lain-lain. Sakitnya bangsa ini, harus diobati. Marilah kita menengok prinsip dasar perjuangan Kartini untuk dijadikan penggugah motivasi bangsa. Banyak versi tulisan-tulisan atau surat-surat Kartini yang dapat dijadikan motivasi perjuangan bangsa. Misalnya yang terhimpun dalam Door Duiternis tox Licht, jika diterjemahkan Dari Kegelapan Menju Cahaya (Mr. J.H Abendanon,1911), Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (Balai Pusaka,1922), Habis Gelap Terbitlah Terang (versi Armijn Pane, 1938), juga pernah diterbitkan dalam bahasa Inggris (Agnes L.Symmers), dan Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904 (oleh Joost Cote). Demikian juga surat-surat Kartini pernah diterbitkan dalam bahasa Jawa dan Sunda. Jika disimak secara mendalam tulisan (surat) Kartini, kesemuanya didasari atas Ketuhanan, Kebijaksanaan, Keindahan, Perikemanusiaan, dan Nasionalisme. Bidang-bidang perjuangan Kartini lebih banyak diterapkan pada kesetaraan (emansipasi), pendidikan, keluarga sebagai institusi awal pendidikan. Konsep pembangunan bangsa menurut Kartini adalah bahwa kemajuan bangsa pada umumnya dapat dicapai dengan pendidikan. Adapun khusus perempuan, melalui pendidikan dapat dicapai kesetaraan dan kemandirian. Jika kita lihat secara utuh pemikiran Kartini bukan saja ditujukan kaum perempuan, tetapi terhadap bangsa Indonesia yang kala itu sedang dijajah. Kartini dengan pemikirannya ingin mendobrak adat istiadat, budaya yang membelenggu perkembangan perempuan dan keluarga, serta membebaskan tanah air dari penguasaan bangsa asing. Alur pemikiran dan perjuangan Kartini mengalir dalam setiap gerakan perjuangan bangsa, misalnya telah mengilhami berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, sampai Soempah Pemoeda tahun 1928, dan seterusnya. Boedi Oetomo (BO) adalah organisasi kemasyarakatan sebagai bentuk perlawanan damai terhadap penjajah melalui pendidikan. Belajar dari pengalaman negara maju bahwa kemajuan dan keberhasilan pembangunan suatu negara lebih ditentukan oleh sumber daya manusia yang berkulitas, maka pendidikan menjadi prioritas penting. Bagaimana akan mengejar negara-negara maju, jika kualitas sumber daya manusia Indonesia masih tergolong rendah (sekitar 64% penduduk hanya lulus Sekolah Dasar). Perjuangan bangsa Indonesia masih panjang, marilah merenung sejenak akan sosok Kartini sebagai salah satu Pejuang Kemerdekaan Nasional. Mudah-mudahan pengorbanan dan semangatnya, mengilhami kartini-kartini modern untuk mengembangkan dan memenej dirinya, sebagai bekal untuk mendobrak melepaskan diri dari ketertinggalan dan kemiskinan, tanpa harus meninggalkan kodratnya. Selamat ber- Hari Kartini. Baca Selengkapnya===>

Monday, April 19, 2010

Revolusi Perancis


Amati gambar di samping! Lambang apa gambar di samping? Mengapa terjadi peristiwa seperti itu? Siapa yang menggerakkan peristiwa tersebut? Bagaimana hasil dari gerakan tersebut?

A. Revolusi Prancis


1. Situasi Sebelum Revolusi

a. Situasi Politik
Sejak Prancis diperintah oleh Raja Louis XIV (1643–1715) kekuasan raja menjadi besar dan tidak terbatas. Rakyat harus tunduk kepada kekuasaan raja dan tidak boleh menentang raja. Rakyat tidak boleh mempunyai pe- ngaruh sedikit pun dalam pemerintahan. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat (Etats Generaux) kemudian dibubarkan. Raja Louis XIV terkenal dengan semboyannya L'etat c'est moi (negara adalah saya).
Raja Louis XIV hidup dalam kemewahan dan kemegahan. Ia mem- bangun Istana Versailles dengan menghabiskan biaya yang sangat besar. Padahal biaya itu diperoleh dengan memungut bermacam-macam pajak yang tinggi dari rakyat. Sudah barang tentu rakyat menjadi menderita dan membenci raja. Hal ini masih berlanjut pada masa pemerintahan Louis XV (1715–1774). Perasaan tidak puas dan benci kepada raja dan para bang- sawan makin lama makin meluas. Pada masa pemerintahan Raja Louis XVI (1774–1793), raja sudah tidak memiliki gezag (kewibawaan) dan kekuatan lagi. Hal itu disebabkan raja tidak berhasil memperbaiki keadaan. Situasi demikian memberi peluang yang sangat baik untuk meletusnya suatu revolusi.

b. Situasi Sosial Ekonomi
Masyarakat Prancis pada waktu itu terbagi menjadi tiga golongan. Golongan I terdiri atas para bangsawan. Golongan II terdiri atas ulama gereja/ pendeta.Golongan III terdiri atas rakyat biasa. Golongan I dan II hidup mewah dengan memiliki berbagai hak istimewa dan bebas dari pajak. Golongan III adalah rakyat yang hidup menderita dan dibebani berbagai macam pajak.
Dari golongan rakyat inilah kemudian muncul golongan baru yang disebut
Borjuis. Golongan inilah yang menjadi pelopor timbulnya Revolusi Prancis. Baca Selengkapnya===>

Friday, April 16, 2010

Friday, April 9, 2010

Nenek Moyang Bangsa Indonesia


Menurut pendapat sarjana Kern dan Heine Geldern, nenek moyang bangsa kita berasal dari daratan Asia. Mula-mula nenek moyang kita mendiami daerah Yunnan (Cina Selatan), kemudian pindah ke selatan (India Belakang). Oleh suatu sebab yang belum diketahui hingga saat ini, mereka kemudian pindah lagi. Perpindahan tersebut diperkirakan terjadi antara tahun 2000 SM hingga tahun 300 SM dan berlangsung secara bergelombang. Gerak tujuan perpindahan mereka ke pulau-pulau di sebelah selatan daratan Asia. Pulau-pulau itulah yang kemudian menjadi tanah airnya yang terakhir. Dengan rakit dan perahu cadik mereka mengarungi lautan selatan yang luas dan akhirnya sampailah di tanah pusaka Nusantara.

Pulau-pulau di sebelah selatan daratan Asia tersebut lazim disebut dengan nama Austronesia (Austro = selatan, nesos = pulau). Bangsa yang mendiami daerah Austronesia di- sebut bangsa Austronesia. Bangsa Austronesia mendiami daerah yang sangat luas yaitu meliputi daerah-daerah atau pulau-pulau yang membentang antara Madagaskar (sebelah barat) hingga Pulau Paska (sebelah timur)

dan antara Taiwan (sebelah utara) hingga Selandia Baru (sebelah selatan).

Bangsa Austronesia yang masuk ke Indonesia disebut Bangsa Melayu. Mereka adalah nenek moyang langsung bangsa Indonesia sekarang. Bangsa Melayu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Bangsa Proto Melayu (bangsa Melayu Tua) dan Bangsa Deutero Melayu (bangsa Melayu Muda).

a. Bangsa Proto Melayu (Bangsa Melayu Tua)

Kira-kira pada tahun 1500 SM bangsa Proto Melayu masuk ke Indonesia. Bangsa Proto Melayu memasuki Indonesia melalui dua jalur/ jalan, yakni jalan barat, yaitu melalui Malaya - Sumatra dan jalan timur, yaitu melalui Pilipina - Sulawesi Utara.

Bangsa Proto Melayu memiliki kebudayaan yang setingkat lebih tinggi daripada kebudayaan Homo Sapiens Indonesia. Kebudayaan mereka adalah kebudayan batu-baru atau Neolitikum (neo = baru, lithos = batu). Meskipun barang-barang hasil kebudayaan mereka masih terbuat dari batu, tetapi telah dikerjakan dengan baik. Barang-barang hasil kebudayaan yang terkenal ialah kapak persegi dan kapak lonjong.

Kebudayaan kapak persegi dibawa oleh bangsa Proto Melayu yang melalui jalan barat, sedangkan kebudayaan kapak lonjong dibawa melalui jalan timur. Bangsa Proto Melayu akhirnya terdesak dan bercampur dengan bangsa Deutero Melayu yang kemudian menyusul masuk ke Indonesia. Bangsa Indonesia sekarang yang termasuk keturunan bangsa Proto Melayu, misalnya suku bangsa Batak, Dayak, dan Toraja.

b. Bangsa Deutero Melayu (Bangsa Melayu Muda)

Kira-kira tahun 500 SM, nenek moyang kita gelombang ke dua mulai memasuki Indonesia. Bangsa Deutero Melayu memasuki Indonesia melalui satu jalan saja, yaitu jalan barat (yakni melalui Malaya - Sumatera ). Menurut N. Daldjoeni (1984), bangsa Deutero Melayu atau Melayu Muda ini berasal dari Dongson di Vietnam Utara, sehingga mereka ini kadang kala disebut orang-orang Dongson. Mereka telah memiliki kebudayaan yang lebih tinggi daripada bangsa Proto Melayu. Peradaban mereka ditandai dengan kemampuan mengerjakan logam dengan sempurna. Barang-barang hasil kebudayaan mereka telah terbuat dari logam. Mula-mula dari perunggu dan kemudian dari besi. Hasil kebudayaan logam di Indonesia yang terpenting ialah kapak corong atau kapak sepatu dan nekara. Di bidang pengolahan tanah, mereka telah sampai pada usaha irigasi atas tanah-tanah pertanian yang berhasil mereka wujudkan, yakni dengan membabad hutan terlebih dahulu. Sudah selayaknya mereka mencari daerah-daerah seperti di Jawa dan pantai-pantai Sumatra untuk digarap seperti di negeri asal mereka. Mereka juga telah mengenal perikanan laut dan pelayaran, sehingga rute perpindahan ke Nusantara juga memanfaatkan jalan laut.



Baca Selengkapnya===>